Selasa, 27 Agustus 2019

"Cultural Turn" Special Lecture with Al-Ustadz Idin Fasisaka, S.IP, M.A


CULTURAL TURN

It refers to a diffuse intellectual movement within the humanities and social sciences challenging orthodoxies concerning the possibility of objective and universal knowledge.

Cultural Turn secara bahasa berarti pembelokan ke budaya. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya yang bermuatan politik. Jadi, secara umum Cultural Turn berarti gerakan intelektual dalam bidang kemanusiaan yang menantang atau mengkritik kekakuan/ortodoksi bahwa ilmu itu universal dan objektif.

Seperti yang kita ketahui, sekarang ini ilmu-ilmu pengetahuan yang kita pelajari khususnya dalam bidang Hubungan Internasional, semuanya dibuat seolah-olah universal. Dalam artian bisa diterima oleh semua orang di dunia. Tapi, di sini muncul pertanyaan apakah ada universalitas konsep? Contohnya Enlightenment atau abad pencerahan (renaians) dan sebagainya, itu memang universal dan objektif, berlaku untuk semua. Tapi, apakah itu harus? Apakah tidak ada kemungkinan kita umat Islam mempunyai pengalaman yang berbeda? Itulah yang harus dipertanyakan. Berpikir dalam perspektif Islam artinya harus mempertanyakan universalitas konsep.

Its distrinctive political perspective are on issues domination, subordination, and resistance. It takes place a continual struggle over meaning, in which subordinate groups attempt to resist the imposition of meanings which bear the interest of dominant groups.

Imposition of meaning. Pemaksaan makna. Maksudnya segala sesuatu yang seharusnya hanya bersifat Particular, tapi dipaksakan untuk menjadi Universal. Berikut beberapa contoh dari Imposition of meaning ;

·         Apa arti Muammar Khadafi bagi kita? Seluruh dunia dipaksa untuk menganggapnya sebagai diktator. Hal ini pun dilakukan melalui berbagai cara ; seminar, radio, TV, koran, dan berbagai media lainnya. Apakah benar Muammar Khadafi adalah diktator? Terjadi Imposition of meaning di sini.

·         Seluruh dunia dipaksa untuk mengakui bahwa Iran dengan program nuklirnya itu jahat, hingga dikatakan bahwa Iran adalah Axis of Evil (Poros Setan). Padahal Iran dengan program nuklirnya itu hanyalah ancaman bagi Israel (dan negara sekutunya), bukan bagi negara-negara lain! Secara logika, buat apa negara-negara lain harus takut dan merasa terancam dengan Program nuklir Iran? Iran hanyalah ancaman bagi Israel. Yang seharusnya merasa terancam adalah Israel dan negara-negara sekutunya, bukan negara-negara lain yang tidak mempunyai kepentingan dengan Iran.

·         Universalitas cirri-ciri teroris. Dunia sekarang ini telah dipaksa untuk mengakui bahwa cirri-ciri teroris adalah yang mempunyai jenggot panjang, memakai gamis, dll. Tapi, apakah itu semua benar? Tentu saja tidak. Padahal dalam Islam ciri-ciri tersebut adalah hal yang biasa. Di sinlah terjadi lagi yang namanya Imposition of meaning terhadap cirri-ciri teroris.

·         Apa makna Muhammad Al-Fatih bagi kita? Apa makna Salahuddin Al-Ayyubi bagi kita? Bagi mereka (orang-orang Barat) bisa saja menganggap Salahiddin itu jahat, bengis, penjahat perang, dll. Tapi, apakah kita sebagai umat Islam mau mengikuti makna yang mereka paksakan?

The core of culture is its value.
Inti dari budaya adalah nilainya. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang kita yakini. Karena kita adalah umat Islam, maka kita hanya berdasar/memaknai hal melalui Islamic Value. Dalam berpikir melalui perspektif Islam, hal pertama yang harus dilakukan adalah to resist the Imposition of meaning. Jangan mengatakan bahwa kita sudah berpikir sesuai dengan perspektif Islam jika kita masih ikut-ikutan atau terpengaruh Imposition of meaning!

Pokok dari Imposition of meaning adalah dominasi. Selanjutnya, dalam bidang Hubungan Internasional apakah ada Imposition of meaning? Tentu saja ada. Karena adanya aktor yang mendominasi, maka terjadi dominasi nilai dari bidang HI ini sendiri. Padahal terdapat perbedaan kultur/budaya antara kita (umat Islam) dengan aktor-aktor yang mendominasi dunia internasional. Seharusnya kita (umat Islam) harus memaknai bidang HI ini dengan nilai-nilai Islam (dalam konteks politik). Menggunakan nilai Islam dalam memaknai bidang HI ini adalah manifestasi dari struggle over meaning. Hal selanjutnya yang kita lakukan adalah Decentering International Relations.

Dalam membangun peradaban Islam, hal yang pertama kita perhatikan adalah nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagaimana kita ingin membangun peradaban Islam jika masih menggunakan atau terpengaruh oleh nilai-nilai yang lain selain Islam?


Jika sistem negara yang paling adil (yang dianggap paling adil) sekarang adalah demokrasi. Maka dominasi dan Subordinasi itu sangat tidak demokratis. Dalam HI arti dari demokrasi adalah wider people participations. Jika nilai-nilai Islam itu sendiri ditolak, apakah itu bisa dikatakan sebagai demokrasi?

Galeri Foto





Kamis, 01 Agustus 2019

Sebab-Sebab Hancurnya Tembok Berlin


Sebelum membahas tentang sebab-sebab dihancurkannya Tembok Berlin, saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu Tembok Berlin. Tembok Berlin atau dalam bahasa Jerman disebut dengan Berliner Mauer adalah sebuah tembok pembatas yang terbuat dari beton yang dibangun oleh Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur. Tembok ini mulai dibangun pada tanggal 13 Agustus 1961.  Pembangunan tembok ini juga bersamaan dengan menara penjaga yang dibangun sepanjang tembok ini, juga pendirian sebuah daerah terlarang yang diisi dengan ranjau anti kendaraan.



Blok Timur menyatakan bahwa tembok ini berfungsi untuk mencegah elemen-elemen Fasis yang kemungkinan akan memunculkan gerakan-gerakan besar yang mencegah terbentuknya pemerintahan Komunis di Jerman Timur. Tapi pada hakikatnya tembok ini berfungsi untuk mencegah larinya warga Berlin Timur menuju Berlin Barat yang terletak di wilayah Jerman Barat.

Selanjutnya pada tanggal 9 November 1989 tembok ini mulai dihancurkan, tetapi saat itu tembok ini tidak langsung dihancurkan saat itu juga. Pada awalnya orang-orang mulai menghancurkannya dengan menggunakan palu godam dan orang-orang tersebut disebut sebagai "Mauerspechte" (pelatuk tembok). Sebab utama dari dihancurkannya tembok ini adalah banyaknya warga Jerman Timur yang kabur melalui banyak jalur. Sehingga pemerintah Jerman Timur memperbolehkan warganya untuk melewati tembok ini dengan syarat kereta yang mereka gunakan harus melewati Jerman Timur terlebih dahulu. Hal inilah yang memicu Demonstrasi besar-besaran di Jerman Timur sendiri seperti Demonstrasi Senin dan Demonstrasi Alexanderplatz.



Protes demonstrasi pecah di seluruh Jerman Timur bulan September 1989. Para pemrotes mencapai puncaknya pada tanggal 4 November, ketika hampir setengah juta orang berkumpul di Demonstrasi Alexanderplatz. Ada sekitar setengah sampai satu juta orang yang bergabung di demonstrasi ini, menjadikan demonstrasi ini adalah salah satu demonstrasi terbesar sepanjang sejarah Jerman Timur. Demonstrasi inilah yang menjadi pemicu revolusi damai yang nantinya berujung pada runtuhnya Tembok Berlin dan Reunifikasi Jerman.



Tanggal 13 Januari 1990, tembok ini resmi dihancurkan oleh militer Jerman Timur, dimulai di Bernauer Straße. Penghancuran tembok ini kembali diteruskan setelah Reunifikasi Jerman sampai akhirnya selesai bulan November 1991. Hanya sedikit bagian tembok dan menara tetap dipertahankan, sebagai tempat memorial. Jatuhnya Tembok Berlin merupakan awal dari Reunifikasi Jerman, yang ditandatangani tanggal 3 Oktober 1990.