Sabtu, 02 Juli 2022

INTERNATIONAL SECURITY STUDIES IN THE LIBERALISM PARADIGM

 KONSEP-KONSEP KEAMANAN INTERNASIONAL DALAM

“PARADIGMA LIBERALISME”

v  Kantian Triangle

Kantian Triangle atau yang dikenal dengan Segitiga Kantian adalah suatu konsep yang diciptakan oleh seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant, sekitar 200 tahun yang lalu. Konsep ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana perdamaian dan kerjasama antar negara dapat terbentuk melalui tiga hal, yaitu; Organisasi Internasional, Interdependensi Ekonomi, dan Demokrasi.

Pertama, organisasi internasional. Dalam hal ini Kant mengusulkan didirikannya suatu lembaga semacam perserikatan bangsa-bangsa (volkerbund) dan bukan pemerintahan negara-negara (volkerstaat). Maksudnya ialah suatu lembaga yang tidak digunakan untuk memperoleh kekuasaan atas negara-negara, tetapi hanya ditujukan pada pemeliharan terjaminnya kebebasan negara-negara tersebut tanpa ada keharusan bagi mereka untuk tunduk pada hukum lembaga tersebut. Konsep ini dimaksudkan Kant untuk menciptakan sebuah lembaga supranasional yang berupa liga perdamaian (foedus pacificum) yang bertujuan menghentikan perang untuk selamanya. Salah satu contoh lembaga supranasional yang kita ketahui bersama yaitu Liga Bangsa-Bangsa yang digagas oleh Woodrow Wilson pasca Perang Dunia II, yang kemungkinan besar bersumber dari gagasan Emmanuel Kant ini.

Kedua, interdependensi ekonomi. Secara singkat dikatakan bahwa perdagangan dalam konsep ini dapat mempromosikan perdamaian. Hal ini berangkat dari anggapan bahwa perdagangan dapat meningkatkan kekayaan, kerjasama, dan kesejahteraan global, yang semuanya mengurangi persentase kemungkinan konflik jangka panjang. Secara logis hal ini dapat diterima, karena pemerintah tentunya tidak ingin mengganggu proses apa pun yang akan meningkatkan kekayaan mereka. Lambat laun mereka akan menyadari bahwa dengan meningkatnya perdagangan antar negara, mereka akan menjadi saling bergantung satu sama lain dalam hal perdagangan. Ketergantungan antar negara inilah yang disebut Interdependensi Ekonomi.

Yang ketiga, demokrasi. Konsep ini beranggapan bahwa demokrasi dapat mendorong terciptanya perdamaian sebab antarnegara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Salah satu alasan mengapa hal ini dapat terjadi karena prinsip demokrasi itu sendiri yang menekankan pada sistem perwakilan dan fungsi check and balance dalam pembuatan keputusan. Berbeda dengan sistem otoriter yang dimana setiap keputusan cenderung akan berpusat pada satu orang yang memimpin. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di nomor ketiga dari tugas ini.

Salah satu contoh studi kasus dari Kantian Triangle ini adalah konflik antara Amerika Serikat dan Meksiko pada masa kepemimpinan Presiden Trump, yang dapat mereda karena beberapa sebab. Konflik bermula ketika Presiden Trump menginginkan rekonstruksi tembok pembatas yang sebelumnya hanya dibangun dari tembok menjadi tembok kokoh setinggi 30 kaki. Pembangunan tembok ini menghasilkan biaya yang cukup besar, namun Amerika Serikat sendiri menekankan bahwa Meksiko yang akan membayar pengeluaran rekonstruksi tembok tersebut. Namun, adanya interdependensi antar kedua negara menjadi alasan tercegahnya eskalasi konflik menjadi peperangan. Interdepensi ini diawali dengan bergabungnya kedua negara dalam organisasi regional NAFTA (North American Free Trade Area). Hal ini berdampak pada peningkatan kegiatan ekspor dan impor antar Amerika Serikat dan Meksiko. Terlebih lagi fakta bahwa 90% perdagangan Meksiko berlangsung dengan Amerika Serikat. Mengingat hal itu, tentu saja kedua negara perlu mempertimbangkan untuk memilih antara pecahnya konflik perkepanjangan atau tetap mempertahankan hubungan baik yang dapat membawa keberlangsungan ekonomi yang saling menguntungkan antar keduanya.

v  Doux Commerce

Doux Commerce adalah salah satu teori atau konsep dalam paradigma liberalisme yang membahas tentang perdagangan. Secara spesifik menyatkan bahwa kegiatan dagang itu sendiri (trade) cenderung tidak menggunakan perilaku kekerasan atau yang tidak sesuai dengan moral. Teori atau konsep ini muncul pada zaman pencerahan (renaissance), yang dimana pendukung dari teori ini percaya bahwa tersebar luasnya perdagangan cenderung akan mengurangi konflik, bahkan perang (trade prevent war). Istilah yang sering terdengar dalam teori ini adalah “perdagangan yang membudayakan manusia”.

Montesquieu menyatakan bahwa efek alami perdagangan adalah menuju perdamaian. Di literatur lain Thomas Paine juga berpendapat bahwa jika perdagangan diizinkan untuk bertindak sejauh kemampuannya, hal itu akan memusnahkan sistem perang. Tidak diketahui siapa pencetus utama dari teori ini tetapi pemikiran Montesquieu dan Voltaire dianggap yang paling sesuai dengan teori ini.

Akan tetapi teori ini dikritik oleh Edmund Burke dengan pernyataan berikut, “(doux commerce) bukan perdagangan yang membudayakan manusia, melainkan manusia beradab melalui budaya, yang memungkinkan mereka terlibat dalam perdagangan”. Nathan B. Oman dalam bukunya The Dignity of Commerce: Markets and the Moral Foundations of Contract Law, menyatakan bahwa tidak semua pasar memiliki konsekuensi moral yang baik, dan tidak semua pasar layak mendapatkan perlindungan hukum. Oman menyadari bahwa pasar dapat menjajah bidang kehidupan non-komersial, seperti pernikahan dan keluarga serta merusak banyak hubungan manusia. Maka dari itu hukum harus menolak upaya untuk menerapkan metafora pasar tanpa pandang bulu ke semua interaksi manusia, kata Oman.

Untuk teori ini penulis akan memaparkan dua studi kasus. Yang pertama (trade prevent war) merujuk pada seorang ekonom Stanford, Matthew O. Jackson yang menyatakan, “kesulitan mendasar yang kami temukan adalah bahwa aliansi itu mahal untuk dipertahankan jika tidak ada insentif ekonomi” dan “tempat-tempat yang paling banyak dilanda perang dalam sejarah baru-baru ini cenderung adalah tempat-tempat dengan aliansi perdagangan global yang lebih sedikit”. Berpegang pada statement ini, Jackson mengambil contoh kasus Perang Kongo Kedua dari tahun 1998 hingga 2000, yang menewaskan lebih dari empat juta orang dan merupakan perang paling mematikan sejak Perang Dunia II. Faktanya, perang ini melibatkan delapan negara Afrika dengan hubungan perdagangan yang relatif sedikit. Contoh yang mudah untuk dipahami lagi ialah konflik Amerika Serikat dan Meksiko di masa pemerintahan Presiden Trump yang telah dijelaskan di nomor sebelumnya, yang dimana aktifitas ekonomi antar kedua negara dapat meredakan konflik yang ada.

Studi kasus kedua yang menegaskan kritik terhadap teori Doux Commerce ini ialah perdagangan budak Atlantik (The Atlantic Slave Trade). Perdagangan budak yang bermula pada abad ke 15 ini sangat jelas merupakan pasar, namun sama sekali melupakan moral dan martabat sebagai sesama manusia. Sama halnya dengan pelegalan penjualan senjata dibeberapa wilayah Amerika, yang jelas-jelas membawa masalah lebih banyak dari manfaatnya. Seperti kasus penembakan di salah satu sekolah dasar di Texas yang mengakibatkan korban jiwa yang cukup banyak.

v  Democratic Peace Theory

Definisi Democratic Peace Theory atau yang biasa disebut dengan Liberalisme Republikan sebenarnya tidak berbeda jauh, bahkan dapat dikatakan sama dengan poin demokrasi dari Kantian Triangle yang tertera di atas, yaitu antarnegara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Teori ini mirip dengan Liberalisme Internasionalis yang memandang bahwa perdamaian akan tercipta jika semua negara mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu teori ini menganjurkan negara untuk menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi liberal ke seluruh dunia.

Salah satu tokoh pendukungnya ialah Francis Fukuyama yang dalam bukunya The End of History and The Last Man menyatakan, “Amerika Serikat dan negara-negara demokrasi lain punya kepentingan jangka panjang dalam menjaga ruang-ruang demokrasi di dunia ini, dan menyebarluaskannya jika memungkinkan. Jika negara-negara demokrasi tidak saling berperang, dunia pascasejarah akan menjadi lebih damai dan sejahtera”.

Dengan demikian teori ini menjadikan penyebarluasan demokrasi sebagai agenda utama kebijakan luar negeri, yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Baik melalui cara-cara yang persuasif seperti bantuan luar negeri, pertukaran budaya, pendidikan, dan juga dengan cara-cara yang buruk seperti perang. Cara yang terakhir ini biasanya dilakukan untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai kebebasan, hak asasi manusia, dan demokrasi tentunya. Menurut penulis sendiri penjelasan mengenai Democratic Peace Theory ini sendiri terdapat ambiguitas di dalamnya. Yang dimana bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan menghindari perang, malah diperbolehkan untuk berperang dengan dalih menjaga nilai-nilai demokrasi yang ada.

Salah satu contoh kasus dari teori ini adalah intervensi kemanusiaan yang dilancarkan oleh negara-negara anggota NATO terhadap Libya beberapa dekade lalu. Intervensi ini dilakukan dengan menjaga nilai-nilai kemanusian yang dianggap telah dirusak oleh pemimpin Libya sendiri saat itu, Muammar Khadafi. Namun, beberapa literatur mengatakan bahwa dibalik intervensi kemanusiaan tersebut terdapat kepentingan lain yang lebih besar selain menjaga nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Keberadaan NATO di Libya tampak sebagai bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat yang hampir selalu mengatasnamakan HAM dan demokrasi sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi. Kepentingan Amerika Serikat tidak lain adalah menguasai cadangan minyak yang terdapat di Libya saat itu. Sepertinya hal ini sudah menjadi motif yang sangat jelas, seperti hal yang sama dilakukannya pada intervensi Irak tahun 2003 lalu.

v  Neoliberal Institutionalism

Neoliberal Institusionalisme biasa juga dikenal dengan Liberalisme Institusional merupakan teori yang berupaya untuk mencari solusi dari permasalahan neorealisme. Neorealisme percaya bahwa dalam struktur internasional yang pada dasarnya anarki, negara-negara akan sulit untuk bekerjasama, akibat sifat dasar mereka yang saling mencurigai. Neoliberal institusionalisme tidak menyanggah asumsi bahwa kondisi sistem internasional adalah anarki, namun ia percaya bahwa kerjasama dapat terjalin melalui rezim internasional atau institusi yang dapat menjembatani negara-negara untuk dapat menjalin kerjasama. Institusi ini bisa berupa lembaga formal seperti organisasi dan hukum internasional yang mengikat maupun tidak seperti Memorandum of Understanding (MoU), perjanjian antarnegara (agreement), dan kesepakatan-kesepakatan lain yang sifatnya longgar.

Untuk studi kasus, penulis rasa cukup mudah untuk menemukannya. Saat ini ada banyak sekali organisasi, perjanjian, atapun kesepakatan yang terjalin antarnegara dengan tujuan kerjasama, dalam berbagai bidang juga. Seperti kerjasama dalam bidang keamanan; NATO (North Atlantic Treaty Organization), dalam bidang ekonomi; NAFTA (North American Free Trade Area) dan WTO (World Trade Organization), bahkan perjanjian dalam bidang keamanan lingkungan; Paris Agreement dan Protokol Kyoto.

 

REFERENSI

Ball, J. (2000). The Atlantic Slave Trade A Unit of Study for Grades 7–12. Los Angeles: University of California.

Indrawan, J. (2013). Legalitas dan Motivasi NATO (North Atlantic Treaty Organization) dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan di Libya. Jurnal Kajian Wilayah, 127-149.

Joshua S. Goldstein, J. C. (2014). International Relations Tenth Edition. New Jersey: Pearson Education Inc.

Mooney, L. (2014, Mei 28). Matthew O. Jackson: Can Trade Prevent War? Retrieved from Graduate School of Stanford Business: https://www.gsb.stanford.edu/insights/matthew-o-jackson-can-trade-prevent-war

Movsesian, M. L. (2017, Juni 26). Is It Really Commercial Activity that Civilizes? Retrieved from Law & Liberty: https://lawliberty.org/book-review/is-it-really-commercial-activity-that-civilizes/

Putri, A. S. (2017). Interdependensi dan Kerjasama Ekonomi Studi Kasus: Interdependensi Ekonomi pada Amerika Serikat dan Meksiko sebagai Pencegah Perang antar Keduanya. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Rosyidin, M. (2020). Teori Hubungan Internasional Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat. Depok: Rajawali Pers.