KONSEP-KONSEP KEAMANAN INTERNASIONAL DALAM
“PARADIGMA LIBERALISME”
v Kantian Triangle
Kantian Triangle atau yang dikenal
dengan Segitiga Kantian adalah suatu konsep yang diciptakan oleh seorang filsuf
Jerman, Immanuel Kant, sekitar 200 tahun yang lalu. Konsep ini berusaha untuk
menjelaskan bagaimana perdamaian dan kerjasama antar negara dapat terbentuk
melalui tiga hal, yaitu; Organisasi Internasional, Interdependensi Ekonomi, dan
Demokrasi.
Pertama, organisasi internasional.
Dalam hal ini Kant mengusulkan didirikannya suatu lembaga semacam perserikatan
bangsa-bangsa (volkerbund) dan bukan pemerintahan negara-negara (volkerstaat).
Maksudnya ialah suatu lembaga yang tidak digunakan untuk memperoleh kekuasaan
atas negara-negara, tetapi hanya ditujukan pada pemeliharan terjaminnya kebebasan
negara-negara tersebut tanpa ada keharusan bagi mereka untuk tunduk pada hukum
lembaga tersebut. Konsep ini dimaksudkan Kant untuk menciptakan sebuah lembaga
supranasional yang berupa liga perdamaian (foedus pacificum) yang
bertujuan menghentikan perang untuk selamanya. Salah satu contoh lembaga
supranasional yang kita ketahui bersama yaitu Liga Bangsa-Bangsa yang digagas
oleh Woodrow Wilson pasca Perang Dunia II, yang kemungkinan besar bersumber
dari gagasan Emmanuel Kant ini.
Kedua, interdependensi ekonomi. Secara
singkat dikatakan bahwa perdagangan dalam konsep ini dapat mempromosikan
perdamaian. Hal ini berangkat dari anggapan bahwa perdagangan dapat
meningkatkan kekayaan, kerjasama, dan kesejahteraan global, yang semuanya
mengurangi persentase kemungkinan konflik jangka panjang. Secara logis hal ini dapat
diterima, karena pemerintah tentunya tidak ingin mengganggu proses apa pun yang
akan meningkatkan kekayaan mereka. Lambat laun mereka akan menyadari bahwa
dengan meningkatnya perdagangan antar negara, mereka akan menjadi saling
bergantung satu sama lain dalam hal perdagangan. Ketergantungan antar negara
inilah yang disebut Interdependensi Ekonomi.
Yang ketiga, demokrasi. Konsep ini
beranggapan bahwa demokrasi dapat mendorong terciptanya perdamaian sebab
antarnegara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Salah satu alasan
mengapa hal ini dapat terjadi karena prinsip demokrasi itu sendiri yang
menekankan pada sistem perwakilan dan fungsi check and balance dalam
pembuatan keputusan. Berbeda dengan sistem otoriter yang dimana setiap
keputusan cenderung akan berpusat pada satu orang yang memimpin. Untuk lebih
jelasnya akan dijelaskan di nomor ketiga dari tugas ini.
Salah satu contoh studi kasus dari
Kantian Triangle ini adalah konflik antara Amerika Serikat dan Meksiko pada
masa kepemimpinan Presiden Trump, yang dapat mereda karena beberapa sebab.
Konflik bermula ketika Presiden Trump menginginkan rekonstruksi tembok pembatas
yang sebelumnya hanya dibangun dari tembok menjadi tembok kokoh setinggi 30
kaki. Pembangunan tembok ini menghasilkan biaya yang cukup besar, namun Amerika
Serikat sendiri menekankan bahwa Meksiko yang akan membayar pengeluaran
rekonstruksi tembok tersebut. Namun, adanya interdependensi antar kedua negara
menjadi alasan tercegahnya eskalasi konflik menjadi peperangan. Interdepensi
ini diawali dengan bergabungnya kedua negara dalam organisasi regional NAFTA (North
American Free Trade Area). Hal ini berdampak pada peningkatan kegiatan
ekspor dan impor antar Amerika Serikat dan Meksiko. Terlebih lagi fakta bahwa 90%
perdagangan Meksiko berlangsung dengan Amerika Serikat. Mengingat hal itu, tentu
saja kedua negara perlu mempertimbangkan untuk memilih antara pecahnya konflik
perkepanjangan atau tetap mempertahankan hubungan baik yang dapat membawa
keberlangsungan ekonomi yang saling menguntungkan antar keduanya.
v Doux Commerce
Doux Commerce adalah salah satu teori
atau konsep dalam paradigma liberalisme yang membahas tentang perdagangan.
Secara spesifik menyatkan bahwa kegiatan dagang itu sendiri (trade)
cenderung tidak menggunakan perilaku kekerasan atau yang tidak sesuai dengan
moral. Teori atau konsep ini muncul pada zaman pencerahan (renaissance),
yang dimana pendukung dari teori ini percaya bahwa tersebar luasnya perdagangan
cenderung akan mengurangi konflik, bahkan perang (trade prevent war).
Istilah yang sering terdengar dalam teori ini adalah “perdagangan yang
membudayakan manusia”.
Montesquieu menyatakan bahwa efek
alami perdagangan adalah menuju perdamaian. Di literatur lain Thomas Paine juga
berpendapat bahwa jika perdagangan diizinkan untuk bertindak sejauh
kemampuannya, hal itu akan memusnahkan sistem perang. Tidak diketahui siapa
pencetus utama dari teori ini tetapi pemikiran Montesquieu dan Voltaire
dianggap yang paling sesuai dengan teori ini.
Akan tetapi teori ini dikritik oleh Edmund
Burke dengan pernyataan berikut, “(doux commerce) bukan perdagangan yang
membudayakan manusia, melainkan manusia beradab melalui budaya, yang
memungkinkan mereka terlibat dalam perdagangan”. Nathan B. Oman dalam bukunya The
Dignity of Commerce: Markets and the Moral Foundations of Contract Law,
menyatakan bahwa tidak semua pasar memiliki konsekuensi moral yang baik, dan
tidak semua pasar layak mendapatkan perlindungan hukum. Oman menyadari bahwa
pasar dapat menjajah bidang kehidupan non-komersial, seperti pernikahan dan
keluarga serta merusak banyak hubungan manusia. Maka dari itu hukum harus
menolak upaya untuk menerapkan metafora pasar tanpa pandang bulu ke semua
interaksi manusia, kata Oman.
Untuk teori ini penulis akan memaparkan dua
studi kasus. Yang pertama (trade prevent war) merujuk pada seorang
ekonom Stanford, Matthew O. Jackson yang menyatakan, “kesulitan mendasar yang
kami temukan adalah bahwa aliansi itu mahal untuk dipertahankan jika tidak ada
insentif ekonomi” dan “tempat-tempat yang paling banyak dilanda perang dalam
sejarah baru-baru ini cenderung adalah tempat-tempat dengan aliansi perdagangan
global yang lebih sedikit”. Berpegang pada statement ini, Jackson mengambil
contoh kasus Perang Kongo Kedua dari tahun 1998 hingga 2000, yang menewaskan
lebih dari empat juta orang dan merupakan perang paling mematikan sejak Perang
Dunia II. Faktanya, perang ini melibatkan delapan negara Afrika dengan hubungan
perdagangan yang relatif sedikit. Contoh yang mudah untuk dipahami lagi ialah
konflik Amerika Serikat dan Meksiko di masa pemerintahan Presiden Trump yang
telah dijelaskan di nomor sebelumnya, yang dimana aktifitas ekonomi antar kedua
negara dapat meredakan konflik yang ada.
Studi kasus kedua yang menegaskan kritik
terhadap teori Doux Commerce ini ialah perdagangan budak Atlantik (The
Atlantic Slave Trade). Perdagangan budak yang bermula pada abad ke 15 ini
sangat jelas merupakan pasar, namun sama sekali melupakan moral dan martabat
sebagai sesama manusia. Sama halnya dengan pelegalan penjualan senjata dibeberapa
wilayah Amerika, yang jelas-jelas membawa masalah lebih banyak dari manfaatnya.
Seperti kasus penembakan di salah satu sekolah dasar di Texas yang mengakibatkan
korban jiwa yang cukup banyak.
v Democratic Peace Theory
Definisi Democratic Peace Theory atau yang biasa disebut dengan
Liberalisme Republikan sebenarnya tidak berbeda jauh, bahkan dapat dikatakan
sama dengan poin demokrasi dari Kantian Triangle yang tertera di atas, yaitu
antarnegara demokrasi tidak akan berperang satu sama lain. Teori ini mirip
dengan Liberalisme Internasionalis yang memandang bahwa perdamaian akan
tercipta jika semua negara mengadopsi nilai-nilai demokrasi. Oleh sebab itu
teori ini menganjurkan negara untuk menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi
liberal ke seluruh dunia.
Salah satu tokoh pendukungnya ialah Francis Fukuyama yang dalam
bukunya The End of History and The Last Man menyatakan, “Amerika Serikat
dan negara-negara demokrasi lain punya kepentingan jangka panjang dalam menjaga
ruang-ruang demokrasi di dunia ini, dan menyebarluaskannya jika memungkinkan.
Jika negara-negara demokrasi tidak saling berperang, dunia pascasejarah akan
menjadi lebih damai dan sejahtera”.
Dengan demikian teori ini menjadikan penyebarluasan demokrasi
sebagai agenda utama kebijakan luar negeri, yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Baik melalui cara-cara yang persuasif seperti bantuan luar
negeri, pertukaran budaya, pendidikan, dan juga dengan cara-cara yang buruk
seperti perang. Cara yang terakhir ini biasanya dilakukan untuk menjaga
keberlangsungan nilai-nilai kebebasan, hak asasi manusia, dan demokrasi
tentunya. Menurut penulis sendiri penjelasan mengenai Democratic Peace Theory
ini sendiri terdapat ambiguitas di dalamnya. Yang dimana bertujuan untuk
menciptakan perdamaian dan menghindari perang, malah diperbolehkan untuk
berperang dengan dalih menjaga nilai-nilai demokrasi yang ada.
Salah satu contoh kasus dari teori ini adalah intervensi
kemanusiaan yang dilancarkan oleh negara-negara anggota NATO terhadap Libya beberapa
dekade lalu. Intervensi ini dilakukan dengan menjaga nilai-nilai kemanusian
yang dianggap telah dirusak oleh pemimpin Libya sendiri saat itu, Muammar
Khadafi. Namun, beberapa literatur mengatakan bahwa dibalik intervensi
kemanusiaan tersebut terdapat kepentingan lain yang lebih besar selain menjaga
nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Keberadaan NATO di Libya tampak sebagai
bentuk perpanjangan tangan Amerika Serikat yang hampir selalu mengatasnamakan
HAM dan demokrasi sebagai basis instrumen untuk melakukan intervensi.
Kepentingan Amerika Serikat tidak lain adalah menguasai cadangan minyak yang
terdapat di Libya saat itu. Sepertinya hal ini sudah menjadi motif yang sangat
jelas, seperti hal yang sama dilakukannya pada intervensi Irak tahun 2003 lalu.
v Neoliberal Institutionalism
Neoliberal Institusionalisme biasa juga dikenal dengan Liberalisme
Institusional merupakan teori yang berupaya untuk mencari solusi dari
permasalahan neorealisme. Neorealisme percaya bahwa dalam struktur
internasional yang pada dasarnya anarki, negara-negara akan sulit untuk
bekerjasama, akibat sifat dasar mereka yang saling mencurigai. Neoliberal
institusionalisme tidak menyanggah asumsi bahwa kondisi sistem internasional
adalah anarki, namun ia percaya bahwa kerjasama dapat terjalin melalui rezim
internasional atau institusi yang dapat menjembatani negara-negara untuk dapat
menjalin kerjasama. Institusi ini bisa berupa lembaga formal seperti organisasi
dan hukum internasional yang mengikat maupun tidak seperti Memorandum of
Understanding (MoU), perjanjian antarnegara (agreement), dan
kesepakatan-kesepakatan lain yang sifatnya longgar.
Untuk studi kasus, penulis rasa cukup mudah untuk menemukannya.
Saat ini ada banyak sekali organisasi, perjanjian, atapun kesepakatan yang
terjalin antarnegara dengan tujuan kerjasama, dalam berbagai bidang juga.
Seperti kerjasama dalam bidang keamanan; NATO (North Atlantic Treaty Organization),
dalam bidang ekonomi; NAFTA (North American Free Trade Area) dan WTO (World
Trade Organization), bahkan perjanjian dalam bidang keamanan lingkungan; Paris
Agreement dan Protokol Kyoto.
REFERENSI
Ball, J. (2000). The Atlantic
Slave Trade A Unit of Study for Grades 7–12. Los Angeles: University of
California.
Indrawan, J. (2013). Legalitas dan Motivasi NATO
(North Atlantic Treaty Organization) dalam Melakukan Intervensi Kemanusiaan
di Libya. Jurnal Kajian Wilayah, 127-149.
Joshua S. Goldstein, J. C. (2014). International
Relations Tenth Edition. New Jersey: Pearson Education Inc.
Mooney, L. (2014, Mei 28). Matthew O.
Jackson: Can Trade Prevent War? Retrieved from Graduate School of
Stanford Business: https://www.gsb.stanford.edu/insights/matthew-o-jackson-can-trade-prevent-war
Movsesian, M. L. (2017, Juni 26). Is It
Really Commercial Activity that Civilizes? Retrieved from Law &
Liberty:
https://lawliberty.org/book-review/is-it-really-commercial-activity-that-civilizes/
Putri, A. S. (2017). Interdependensi dan
Kerjasama Ekonomi Studi Kasus: Interdependensi Ekonomi pada Amerika Serikat
dan Meksiko sebagai Pencegah Perang antar Keduanya. Yogyakarta: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Rosyidin, M. (2020). Teori Hubungan
Internasional Dari Perspektif Klasik Sampai Non-Barat. Depok: Rajawali
Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar